Sudah tinggal bebrapa hari lagi menyambut kemerdekaan, hias2an bendera merah putih dan suasana gegap gempita seantero Indonesia yang akan menyambut kemerdekaanya. Para remaja keliatan hiruk pikuknya menyiapkan perlombaan apa saja yang akan di selenggarakan, para bapak2 bekerja bakti membersihkan selokan. Terdengar suara2 lagu yang bersemangat menghentak dari ujung jalan. Pohon pinang telah di tegakkan , karung2 lusuh bertuliskan merek2 terigu ditumpuk menjadi satu, dan teriakan anak2 kecil yang senang mungkin perayaan kali giliran mereka yang mendapatkan hadiah dari berbagai macam perlombaan. Halaman2 rumah yang biasa hanya terpagari ilalang dan daun kering yang jatuh, sekejap berubah dimana2 bendera pusaka merah putih. Setiap lorong gang nampak bersih.
Aku…. Aku…. Aku yang selama ini hanya diam tanpa kata. Memori kata- kata dalam otak ku sepertinya sudah mati. Tak tahu apa itu A, B, benar dan salah semuanya ku anggap sama.
Jika aku ditanya tentang keluarga, hanya terbanyang etalase2 mana saja yang telah kami tinggali. Kami keluarga yang hanya berpindah2 kesana kemari. Kami bukan bertransmigrasi, dan bukan pula ayahku seorang tentara. Ibuku juga bukan seorang pegawai negeri yang datang pergi dari suatu tempat ke tempat lain untuk memenuhi tugas.
Kami sudah terbuang bersama tumpukan kardus bekas yang ternyata menyelamatkan hidup kami selama ini. Ayahku bekerja di tempat pengumpul sampah dari pemulung, ibuku seorang buruh apa saja. Adiku telah lama tiada, dia sudah lama menyerah pergi bersama penyakitnya, aku tak tau apa itu namanya yang aku tau dia demam sangat tinggi kala itu.
Dulu keadaan kami tidak separah ini, kami memiliki rumah kecil hasil jerih payah ayah yang dikumpulkan dari gaji pabriknya yang tidak seberapa. Semakin hari keadaan kami semakin sulit, pabriknya gulung tikar, ayah di berhentikan dari pabrik tempat dia bekerja di tambah lagi kondisi adikku yang setiap hari bertambah parah. Rumah kecil kami sudah tidak ada, aku berhenti sekolah , barang2 kami sudah habis di jual murah untuk berobat. Sekarang kami sudah tidak punya apa2 lagi begitu halnya adik kesayanganku. Kami seperti mati setengah. Aku sehariku hanya memilih diam, ekspresi datar dari raut muka karena tak ada rasa senang dan sedih yang sudah lama mati. Senyumanku lahir ketika senja hari, senja ketika ayah datang. Ku berlari kencang dan menghampirinya menyodorkan tangan kecilku untuk membantunya membawa nafas kami yang baru…
Aku tidak malu tinggal di rumah kardus ini, ini lah surga ku selama ini jika ayah dan ibu bekerja. Aku diam di rumah untuk menjaga satu2nya permata kami yang ada. Aku harus berlari sekencang2nya jika ada petugas yang mengusir, aku mungkin rela bersimbah darah berkelahi besama anak pemulung yang lain karena mereka memaksa mengambil rumahku dan persediaan kardus yang lain. Di satu sisi aku sedih melihat mereka bisa ikut bekerja. Kadang2 aku menyembunyikan beberapa potongan kardus yang sudah kami pakai untuk kubagikan kepada mereka. Di satu sisi aku merasa iri mereka bisa mengurangi beban orang tua mereka.
Waktu yang di berikan tuhan serasa tidak bergulir, membekuan sel sel ku yang tidak lagi bereinkarnasi. Ayah dan ibu khawatir akan kondisiku seperti sekarang ini, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka memperlakukan aku seperti biasa saja, walaupun aku tahu ibu akan selalu menangis di akhir sholat malamnya, ayah akan selalu memanjangkan sujudnya dan berdoa untukku.
Sejak adikku tidak ada, aku selalu merasa kesepian, dulu kami selalu bersama dimanapun itu. selalu ada keceriaan walau kadang2 kami bertengkar mempeributkan hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Tapi itulah yang aku rindukan darinya. Kesepian yang aku derita cukup besar. Depresi bertubi2 slalu terbayang. aku selalu mencoba untuk melupakannya dengan membaca, ini mungkin bisa sedikit mengobati kesepianku walau tak bisa menghidupkan adikku kembali. Ini buku kesayangan ku pemberian dari ayah. ini mungkin yang beberapa ribu kalinya aku membaca buku ini. Aku masih ingat dulu buku itu bersampul plastik nan indah, cetakan hurufnya masih bagus dan jelas. Dulu buku ini juga di gunakan ayah untuk mengajarkan aku bagaimana caranya membaca. Yang aku ingat kata kata ayah mambaca judul di halaman pertama yaitu “Indonesia, Soekarno,Merdeka ”. Dengan sabar ayah mengajarkan aku membaca dan sampai sekarang beribu2 kali aku sudah membacanya dan aku paham bahwa betapa susahnya soekarno merebut dan mempertahankan kemerdekaan bersama rakyat Indonesia lainnya. Sosoknya yang sangat aku kagumi, tidak pernah takut siapapun dan yang paling suka dari Soekarno karena beliau sangat suka membaca. Beliau katakana bahwa buku itu jendela dunia, kita bisa mendapatkan pengetahuan apa saja tanpa harus mendatangi tempat tersebut. Aku agak sedikit kecewa andai saja rumah kecil itu masih ada mungkin aku bisa menabung membeli buku2 yang lain dan mungkin juga buku ini tidak akan rapuh dan usang terkena panas dan hujan.
Seperti yang kuceritakan tadi petugas kadang2 mengusirku dari tempat tinggalku itu. selama ini aku hanya berlari, sembunyi hanya beberapa meter dari tempat yang aku tinggali tersebut dan jika sudah aman aku kembali untuk meletakan kardus2 itu ketempat smula duduk diam kembali membaca. Tatapan mataku yang kosong tapi berjaga.
Kali ini aku tidak beruntung, padahal baru beberapa hari kemarin petugas datang dan hari ini mereka datang lagi. Petugas yang sekarang lebih banyak, berkostum lengkap berseragam layaknya pahlawan jepang yang aku liat di televisi2 pertokoan. Aku yakin petugas itu melihatku. Aku merasakan perbedaan antara pahlawan jepang tersebut dengan petugas2 ini , aku salah mereka bukan membela kebenaran. Aura panas dari dalam hatinya membuat matanya memincing penuh dendam karena melihat ulahku yang kembali ke daerah kekuasaannya.
Aku berlari ketakutan dan tiba tiba aku sudah berada di sebuah komplek. Aku putuskan untuk memanjat tembok yang tidak terlalu tinggi untuk tubuh seukuranku. Aku bersembunyi di sebuah grasi untuk beberapa saat sampai petugas itu pergi.
Tiba tiba aku di kejutkan oleh sesosok tangan putih dan lembut. Dia menyapa dengan suara yang santun.
“ sedang apa kau disini???” kata gadis itu
“ untuk apa kardus2 sebanyak ini kau bawa???”
“I..iii… ni rumahku” dengan suara yang pelan
Gadis itu pun tertegun dan mempersilahkan aku masuk. Namanya ….. dia sangat baik, santun, dan tidak berprasangka buruk. Tidak seperti aku bayangkan bahwa orang berada identik dengan keangkuhannya. aku berbicara panjang lebar dengannya. Gaya bicaranya mirip dengan adikku,
Senja sudah hampir tiba, aku harus kembali pulang karena khawatir ayah dan ibu akan segera pulang. Aku dihantarkannya sampai teras rumahnya. Senyumnya mengahantarkan kepulanganku….
Aku terkesima melihat rumah2 di komplek ini, hawa hawa kemerdekaan yang mereka buat di komplek ini sungguh indah. Mereka memasang bendera plastik merah putih dan di lilitkan dari satu tiang ke tiang lainnya. Lampion lampion redup menyala akan menyemarakan malam. Jalanan bersih, pohon pinang menjadi siluet karena membelakangi senja mentari. Aku menyeret2 kardus perlahan sambil mengingat kembali jalan pulang. di jalan aku melihat seorang anak bersama ayahnya sedang memasang bendera di depan rumah. Dia di gendhong di pundak ayahnya menarik tinggi bendera merah putih tersebut diiringi lagu Indonesia raya. Anak itu kegirangan dan di akhir lagu Indonesia raya tersebut ayah dan anak tersebut meneriakan MERDEKA!!! Bersamaan dengan bendera yang telah sampai pada puncaknya.
aku seperti di putar waktu, badanku disini tapi pikiranku melayang kemasa itu. ayah dulu selalu mengajak aku dan adikku untuk memasang bendera di depan rumah. Biasanya rumah kami yang pertama memasang bendera di bandingkan dengan tetangga2 yang lain. Kami bersorak sorai, senangnya saat2 itu….
aku berlari segera meninggalkan komplek itu, aku menangis, sepanjang jalan rumah2 sudah terpasang bendera . semakin banyak rumah yang kulalui semakin menambah rasa kepedihanku yang sangat dalam. Aku menangis, air mata itu turun deras mengalir bersama isak tangis. Aku tak kuasa. Aku terdiam dan terjatuh bersama kardus2 di ujung jalan komplek rumah tersebut dan mulai menyalahkan diri sendiri.
Aku berteriak kencang dalam hati…
“KENAPA AKU YANG BELUM MERAYAKANNYA?????”
“KENAPA AKU YANG TAK BISA MERAYAKANNYA????”
“KEMANA RUMAH YANG BIASA AKU PASANGKAN BENDERA DI DEPANNYA???”
“KEMANA BENDERA YANG SELAMA INI AKU BANGGAKAN DI DEPAN RUMAH????”
“TUHAN KEMBALIKAN RUMAHKU, ADIKKU, DAN KEGEMBIRAANKU!!!!”
Aku benci tuhan saat itu, perasaan yang sulit aku terima dan merasa dalam kebingungan. Aku emosi menangis terisak isak. Ada sesuatu rasa yang menyesakan dada, hati, pikiran seluruh tubuhku panas gemetar. Perasaan tertekan yang aku alami selama ini pecah tumpah saat itu.
Ku pukulkan tanganku ke kardus di sebelahku. Merusakannya kemudian berserakan di jalanan. Melihat tumpukan kardus2 yang rusak tersebut. Aku teringat ibu dan ayah, mereka akan pulang. aku sudah merusak kehidupan keluargaku…, harta kekayaan keluarga…., aku kembali menangis dan terisak dalam.rumah kardusku rusak…….
Berlari aku menyeret kardus2 yang sedikit tersisa dan rusak sambil selalu genggam buku pemberian ayah dan kujaga jangan sampai terlepas.
Terlihat dari kejauhan , muka ayah sudah sedikit memerah dia marah kepadaku, dia sedikit khawatir kalau2 aku di bawa petugas. Sementara ibu sudah tidur di pundak ayah beberapa jam yang lalu. Aku berlari mendekati mereka dan memeluk mereka sambil menangis terisak. Mereka memandangku penuh kekhawatiran, aku yang biasanya diam kini menangis kencang. Ibu terbangun karena mendengar tangisanku. Ayah yang tadinya marah mukanya berubah tenang.
“ kenapa nak??” Tanya ayah
“Mana bendee eeera kita ayah??? “ dengan suara sedikit terisak
“Bendera apa???” Tanya ibuku dengan lemah lembut
“Bendera merah putih kita ayah , ibuu, yang biasa kita pasang dulu di deepan rumah kita!!!!!!” suaraku rada sedikit meninggi sambil menggoyang2kan kedua badannya
“tenang dulu nak, sabar, ibu masih menyimpanya”
Aku bingung ibu malah mengeluarkan kain yang biasa digunakan untuk alas tidur….
“ini benderanya, tapi ibu menjahitnya dan menyatukannya bersama kain2 yang lain untuk alas kamu tidur nak” suara ibu lemah lembut
Bendera itu sudah lusuh, sedikit tersobek dan sudah tidak gagah seperti dulu. Buku pemberian ayah yang kupegang erat tadi ku hempaskan. Aku menangis sekecang kencangnya,
“ kamu kenapa nak????” Tanya ayah
“kamu malu kita haya tinggal di rumah kardus ini???”
“Tidak!!!, aku tidak malu kita tidur dijalanan, aku tidak malu dengan rumah kardus ini, itu tidak ada apanya dengan memperjuangkan Indonesia dan menaikan bendera itu setinggi2nya. Aku lebih malu kepada bangsa Indonesia, kepada Soekarno, dan kepada seluruh rakyat yang rela mati demi merdeka dan lihat sekarang hasil perjuangan mereka hanya kita jadikan alas????, lihat ayah????!!!!!” bentakku sambil menunjukan bendera tersebut…
Ibuku memeluku dalam. Malam itu aku menangis menangis sampai terlelap di pangkuan ibu…..
Seperti biasa sebelum mereka pergi bekerja, aku di bangunkan mereka pamit untuk bekerja. Aku disarankan untuk tidak kemana2. Mereka sangat khawatir denganku dengan kejadian kemarin. Sekarang aku di titipkan oleh seseorang pedagang Koran. Aku sungguh sangat bingung kali ini, gelora dan semangatku untuk mencari bendera baru sungguh sangat besar. Ketika si pedagang koran tersebut lengah, aku melarikan diri. Berlari jauh dan aku yakin kedai korannya sudah tidak terlihat lagi.
Dari tadi aku hanya berjalan berputar mengikuti suara nurani, langkah kaki yang otomatis bergerak memompa pikiranku bagaimana caranya aku untuk membeli bendera baru. Dalam keadaan otak setengah sadar bekerja aku trus memikirkan tentang bendera itu….
Lankah langkah kecil dari kaki yang sudah lelah berjalan terhenti, terlihat ada janur kuning di pekarangan bergoyang tertiup angin. Aku sudah tak kuat lagi berjalan, tapi tetap saja memaksaku mendatangi rumah itu.
Tumpukan sampah bekas acara resepsi pernikahan bisa ini menggunung dan aku tau ini bisa kusulap jadi uang. Banyak sekali plastik2, kardus kardus bekas nasi kotak, tanpa malu aku memungutinya.